Kacamata Positif Seorang Dai
Posted by Unknown on Sabtu, November 03, 2012 with No comments
Dalam
pandangan Islam, manusia itu pada dasarnya adalah makhluk suci, dilahirkan
dalam keadaan suci, dan bisa kembali lagi pada kesuciannya.
Pandangan
tersebut merupakan pandangan yang sangat positif dan optimistik tentang
manusia. Allah swt. dalam Al-Quran menyebut manusia sebagai makhluk yang paling
baik atau paling sempurna. “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia itu
dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” [Q.S. At-Tin (95): 4]
Islam
juga mengakui bahwa manusia adalah makhluk yang diberi kemuliaan. “Dan
sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan
dan di lautan, Kami beri merek rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami
ciptakan.”
Salah
satu contoh aplikasi pandangan positif dan optimistik Islam tentang manusia
adalah penyebutan hati (qalbu) dengan istilah nurani (nuuraaniyyun). Kata ini
berasal dari kata ‘nuur’ yang artinya cahaya. Jadi, nurani berarti memiliki
sifat cahaya. Dengan demikian ketika kita menyebut ‘hati nurani’ sesungguhnya
terkandung maksud bahwa hati kita itu memiliki kemampuan untuk ‘mencahayai’
atau ‘menerangi’ jalan hidup kita. Karena itulah Rasulullah saw. ketika ditanya
seseorang tentang cara membedakan mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan
buruk, beliau menjawab, “Sal dhamiraka, tanyalah kepada hatimu!”.
Atas
jawaban Rasulullah tersebut –bahwa hati kita memiliki kemampuan untuk menerangi
jalan hidup kita—kaum sufi sering menyebut hati sebagai “ad-diin” (agama).
Maksudnya, agama yang ditanam di dalam diri manusia (ad-diin al-majbuulah) dan
sangat klop dengan agama yang diturunkan dari langit (al-diin al-munazzalah),
yaitu Al-Islam.
Meski
begitu, Islam juga memberi catatan tentang kelemahan manusia. “… dan manusia
dijadikan bersifat lemah.” [Q.S. An-Nisa’ (4): 28]. Kelemahan manusia di sini
adalah kelemahan jiwa. Manusia mudah tergoda untuk berbuat dosa dan mengotori
kesucian jiwanya. Kelamahan inilah yang membuat manusia keluar dari
kesejatiannya sebagai makhluk yang suci dan mulia.
Dalam
kondisi jiwa yang kotor penuh dosa, derajat manusia bisa menjadi lebih rendah
dari binatang sekalipun. “… mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakan
untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka
mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah).
Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi….” [Q.S. Al-A’raf (7):
179].
Terhadap
orang-orang yang “terpeleset” dari kesejatiannya, Allah swt. memberi kesempatan
dan banyak sekali fasilitas untuk membersihkan diri dari segala kotoran jiwa yang
melekat. Mulai dari istighfar –ucapan “astaghfirullah al-azhim, aku mohon ampun
kepada Allah Yang Mahatinggi– yang bisa digunakan kapanpun dan bersifat
manasuka; fasilitas lima kesempatan dalam sehari melalui shalat wajib; hingga
fasilitas pekanan dengan shalat Jum’at. Bagi yang menunaikan shalat Jum’at
sesuai tuntunan Rasulullah saw., Allah swt. memberi ampunan dosa dari shalat
Jum’at ke shalat Jum’at berikutnya.
Dan
yang paling spektakular adalah fasilitas tahunan: Ramadhan! Kata Rasulullah
saw., “Man shaama ramadhaana iimaanan wahtisaaban ghufira lahu maa taqaddama
min dzambiihi wa maa ta-akhkhara, siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan
iman dan perhitungan, diampuni segala dosanya di masa lalu dan di masa yang
akan datang.” (H.R. Ahmad dalam musnadnya, Vol. II, hlm 385. No. 8989. Tambahan
“wa maa ta-akhkhara” oleh sejumlah pakar hadits dinilai lemah riwayatnya, tapi
kalimat selain itu disepakati berderajat shahih).
Begitulah
Ramadhan. Sesuai dengan arti namanya “pembakar”, Ramadhan membakar semua
dosa-dosa seseorang muslim sehingga ia kembali ke jatidirinya sebagai insan
yang suci seperti ketika dilahirkan (fitrah).
Segala
fasilitas ampunan yang Allah swt. berikan kepada manusia yang berdosa untuk
kembali kepada fitrahnya adalah alasan bagi seorang dai untuk tidak ada alasan
untuk tidak berdakwah kepada orang yang pembangkangannya kepada Allah swt.
sekelas Fir’aun sekalipun. “Pergilah kamu berdua (Musa dan Harun) kepada
Fir’aun karena dia benar-benar telah melampaui batas; maka bicaralah kamu berdua
kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lembah lembut, mudah-mudahan dia
sadar atau takut.” [Q.S. Thaha (20): 42-43].
Begitulah
Allah swt. Kata Rasulullah saw., “Allah mengembangkan tanganNya pada waktu
malam untuk memberi tobat kepada orang yang melakukan keburukan di waktu siang,
dan mengembangkan tanganNya di waktu siang untuk memberi tobat kepada orang
yang melakukan dosa di waktu malam. Hal itu terus berlangsung hingga matahari
terbit dari barat (kiamat).” (H.R. Bukhari)
“Allah
lebih senang mendapati hambaNya yang bertobat melebihi dari kegembiraan
seseorang dari kalian yang kembali menemukan hewan kendaraannya yang penuh
bekal makanan setelah ia kehilangannya di padang pasir,” tambah Rasulullah saw.
(H.R. Bukhari).
Jadi, tidak ada dalam
kamus seorang dai kalimat “sudah tinggalin saja, dia sih sudah gak bisa
dibenerin lagi!” Sebab, seorang dai selalu memakai kacamata positif dalam
memandang manusia. Siapa pun dia selama sebutannya masih manusia dan belum
masuk kubur, adalah makhluk suci, dilahirkan dalam keadaan suci, dan bisa
kembali lagi pada kesuciannya. [dakwatuna]
0 komentar:
Posting Komentar