Hukum Suap Dan Gaji Yang Diperoleh Karena Suap
Posted by Unknown on Kamis, November 01, 2012 with No comments
Pertanyaan;
Assalamu'alaikum Wr,
Wb.
Yang kami hormati
Ustadz Taufik,
Ananda ingin
menanyakan beberapa hal mengenai suap/sogok dalam hukum Islam, misalnya
seseorang agar dapat diterima menjadi PNS/Karyawan memberikan imbalan berupa
sejumlah uang kepada pihak tertentu supaya dapat lulus dan diterima menjadi
PNS/Karyawan. Yang ingin saya tanyakan :
- Apakah hukumnya suap/sogok dalam Hukum Islam (baik yang menerima maupun yang memberi serta yang terlibat dalam sogok/suap tersebut) ?
- Jika
orang tersebut diterima sebagai PNS/Karyawan lantaran sogok tersebut, apakah
Halal gaji yang terima setiap bulannya?
- Demikian pertanyaan
Ananda, mohon maaf jika terdapat kata-kata yang kurang sopan, mohon penjelasan dari Ustadz Taufik secara
lengkap dan detil, karena Ananda sangat membutuhkan pencerahan dari Ustadz
Taufik. Terima kasih banyak Ananda ucapkan, atas penjelasan Ustad.
Dari Dabak di Baturaja
Jawaban;
Islam Mengharamkan
Suap
Islam secara tegas
mengharamkan suap atau sogok.
Rasulullah saw bersabda: ”Allah melaknat penyuap (ar-raasyi) dan yang disuap (al-murtasyi).”
Kedua belah pihak,
penyuap dan penerima suap dilaknat Allah SWT. Oleh karena itu hukum suap haram.
Kaidah Fathu Dzaraai’
Dalam Usul fikih
terdapat sebuah kaidah Usul fiqih yang disebut Fathu Dzaraai’. Prinsip
kaidah ini membolehkan yang haram apabila dipastikan atau diperkirakan dalam
pembolehan tersebut mewujudkan manfaat yang lebih besar atau mencegah mafsadah. Tentunya
manfaat dan mafsadah disini menurut syariat Islam bukan menurut aturan yang
lain.
Suap dibolehkan dalam kondisi tertentu.
Suap yang diharamkan
dalam teks hadis diatas adalah suap yang mengandung unsur zhalim (merugikan
orang lain). Seperti menzhalimi hak orang lain, mengambil sesuatu yang bukan
haknya, menghalalkan yang haram atau sebaliknya, mempengaruhi keputusan yang
merugikan pihak lain dan sebagainya.
Hukum suap akan
berbeda apabila tidak mengandung unsur zhalim. Seperti mengambil sesuatu yang
menjadi haknya, melakukan suap karena untuk mencegah bahaya yang lebih besar
atau mewujudkan manfaat (yang sesuai dengan syariat) yang besar. Dalam keadaan
seperti ini maka si pemberi suap tidak berdosa, hanya penerima suap yang
mendapat dosa. Hal ini sesuai dengan kaidah fathu dzarai’.
Apabila seseorang
sudah ikut proses penerimaan PNS dengan benar kemudian ia diterima. Namun nomor
NIP tidak bisa keluar karena pihak berwenang meminta sejumlah uang. Dalam hal
seperti ini maka dibolehkan bagi calon PNS tersebut untuk membayar sejumlah
uang kepada pihak berwenang agar Ia bisa mempunya NIP. Ia tidak menzhalimi
siapapun, suap tersebut hanya untuk mengambil hak dia. Ia tidak berdosa. Dosa
hanya ditimpakan kepada pihak berwenang.
Hukum Gaji dari
Pekerjaan yang diperoleh dari hasil suap
An-nahyu (larangan) dalam fiqih dibagi menjadi
tiga jenis.
- Pertama, Larangan karena hal yang dilarang memang tidak baik, seperti mencuri, berzina dan lain sebagainya.
- Kedua, larangan bukan karena hal yang dilarang tidak baik akan tetapi karena ada sesuatu yang tidak baik menyertai hal yang dilarang, dan hal tersebut tidak terpisahkan (mulaazim lahu). Seperti; larangan jual beli sesuatu yang tidak ada barangnya. Larangan ini bukan karena jual belinya tapi karena barang yang dijual tidak ada dihadapan penjual dan pembeli yang mana hal ini bisa menimbulkan penipuan.
- Ketiga, larangan Karena sesuatu yang menyertai hal yang dilarang tapi hal tersebut terpisah dari hal yang dilarang. seperti: mengkhitbahi seorang perempuan yang sudah dikhitbah oleh orang lain, kemudian menikahinya. Khitbah terpisah dari menikah.
Jenis pertama dan
kedua apabila dilakukan maka tidak berdampak apa-apa. Pencuri tidak memiliki barang curian, zina
tidak merubah status pezina, jual beli barang yang tidak ada dihadapan penjual
dan pembeli ( bai’-al-ma’duum) tidak sah, kepemilikan barang tidak pindah ke
pembeli, juga kepemilikan uang tidak pindah ke pedagang.
Jenis ketiga berbeda dengan jenis pertama dan kedua. Jenis ketiga walaupun dilarang namun tetap berdampak hukum. Mengkhitbah perempuan yang sudah dikhitbah orang lain haram, namun apabila dilanjutkan dengan nikah maka nikahnya tetap sah.
Mendapatkan pekerjaan
dengan suap haram. Namun apakah gaji dari pekerjaan yang diperoleh dengan suap
juga haram? Apabila masalah kita qiyaskan ke masalah mengkhitbah perempuan yang
sudah dikhitbah kemudian menikahinya.
Maka kesimpulannya adalah menyuap untuk
memperoleh pekerjaan haram (dengan catatan menzhalimi orang lain). Gaji yang
diperoleh dari pekerjaan tersebut tetap sah dan tidak haram. Dengan syarat gaji
tersebut diperoleh karena ia bekerja dengan baik dan melakukan tuntutan
pekerjaanya. Apabila karyawan tadi tidak melakukan tuntutan kerja dan tidak
bekerja dengan baik maka hukumnya berbeda. Gaji tersebut tetap haram.
Beniat Taubat Sebelum
Melakukan Maksiat
Ada tiga syarat agar
diterima taubatnya.
- Pertama: meninggalkan maksiat,
- Kedua: menyesal terhadap dosa yang dilakukan,
- Ketiga: bertekad untuk tidak mengulangi maksiat tersebut. Apabila seseorang berniat taubat sebelum melakukan maksiat maka sesungguhnya ia tidak ada niat untuk taubat, tidak mau meninggalkan maksiat, tidak menyesal dengan maksiat tersebut dan ada niat mengulanginya.
Disisi lain apakah ia
menjamin bahwa ia masih hidup ketika maksiat itu selesai dilakukan? Tidaklah ia
khawatir tidak ada kesempatan untuk bertaubat atau ia meninggal ketika
melakukan maksiat. Juga, apakah ada jaminan bahwa Allah akan mengampuni dosanya
seandainya ia melakukan maksiat tersebut. Bisa jadi Allah SWT marah karena ia
mempermainkan hukum Allah SWT dan Allah SWT menutup hatinya kemudian ia
menikmati hasil maksiat tersebut dan menjauhkannya dari taubat. Naudzubillah
min dzalik.
Wallahu ‘Alam
Rubrik Konsultasi Syariah www.Nuaimy.org diasuh oleh Dr. H. M. Taufik Qulazhar, M.A, M. Ed. Direktur Mahad Aly An-Nuaimy Jakarta.
Categories: amazing campus, nuaimy
0 komentar:
Posting Komentar